CERITA TUPAI MALIMDIWA | HiKAYAT ACEH

Pada zaman dahulu kala adalah seorang anak raja yang turun dari kayangan, dari langit, yang datang bermain-main ke dunia ini. Tidaklah diketahui mula ceritanya, kawinlah ia dengan Malimdiwa, yang kemudian mendapat seorang anak. Anak mereka itu cantik sekali, maklumlah anak orang dari langit. Sangat sayanglah mereka suami isteri pada anak ini. Setelah agak besar sedikit anaknya bermaksud putri raja kayangan untuk pulang ke langit, karena ia telah rindu sekali pada orang tuanya. Dapatlah dipahami, karena sudah lama ditinggalkannya orang tuanya itu. Pada suatu malam berbicaralah ia dengan Malimdiwa, suaminya itu, katanya "rindu sekali saya pada orang tua saya, saya berkeinginan untuk pulang ke langit. Hanya menjadi pikiran saya, bagaimanalah halnya, karena baju terbang saya ini kecil, sehingga tidaklah dapat membawa kita terbang semuanya bersama. Anak kita dapat kiranya saya bawa serta, untuk saya perlihatkan pada orang tua saya di langit sana." Sangat tercenganglah suaminya, Malimdiwa itu mendengar apa yang dikatakannyaitu. Hiba benar ia, namun bercampur susah. Selain itu agak gembira pula ia karena anaknya itu dapat dibawa ke langit. Kemudian berkatalah lagi isterinya itu, "nanti, asal jangan terlalu, lama', terbanglah abang ke langit menjemput kami. Supaya dapat kita hidup bersama lagi di dunia ini. Tapi, bila nanti abang tidak menjemput kami, akan tualah diri saya menantikan. Pastilah saya tidak diizinkan orang tua saya untuk turun lagi kemari tanpa ada kawan." Setelah lama Malimdiwa termenung mendengarkan kata-kata isterinya itu, berkata pula dia, "Aduh, bagaimana mungkin saya dapat naik pula ke langit, sedangkan saya tidak mempunyai baju terbang seperti milikmu itu. Rasanya akan sukarlah keadaanya, bagaimana caranya nanti saya naik ke sana." Disahut pula oleh tuan putri itu, "hal itu mudah benar. Dengarlah baik-baik. Di sana, di sebelah Timur ada sebuah kerajaan. Rajanya mempunyai seorang anak perempuan, yang cantik sekali, budi bahasa anaknya baik sekali. Sehubungan dengan itu banyaklah orang yang ingin padanya, namun sukar sekali mendapatkannya, karena untuk itu ada syaratnya. Tuan putri mempunyai baju terbang, seperti baju ini juga. Mintalah baju terbang itu, pinjam, lalu terbanglah ke langit, jemputlah kami, dan setelah itu kembalikan pula kepadanya. Maksud kita bukanlah untuk diambil selama-lamanya." "Aduh, bagaimana mungkin", kata Malimdiwa itu. "Manalah mungkin diberikannya begitu saja pada kita, kita tidak berfamili dengan dia. Jangankan bersaudara, ia pun tak tahu pada kita, kitapun tak mengenalnya." Dikatakan lagi oleh tuan putri itu, "O, tentang itu mudah saja. Kawinilah dia dahulu, dan untuk keperluan itu, saya merelakannya dan tak usah pula abang risaukan. Kemudian, setelah beberapa lama, pinjamlah bajunya itu untuk dapat abang terbang kesana. Tentulah akan diberikannya, karena yang memintanya adalah suaminya jua. Nanti kalau sudah dapat, terus terbang menjemput kami, semoga kita bertemu di langit." Bermenunglah pula lagi Malimdiwa mendengar kata-kata isterinya itu, pandai benar dia membujuk, dan tahu pula ia menunjukkan jalan yang boleh jadi belum terpikirkan oleh suaminya itu. Kemudian dikatakan lagi oleh isterinya itu, "ha, jangan lupa, ingatlah selalu, jangan terlalu lama, janganlah terlambat pula nanti, saya rasa orang tua saya akan menjadi marah nanti disana. Nah, bagaimanakah rasa-rasanya, apakah sudah boleh saya berangkat?" Wah, tidaklah tahu lagi apa yang akan dikatakan oleh Malimdiwa itu, dilepasnyalah isterinya untuk terbang itu, disertai dengan doanya. Selesai itu, terbanglah isterinya itu. Ia terbang terus karena telah mendapat restu suaminya itu. Dibawanyalah anaknya yang masih kecil itu. Mereka terbang tinggi, tinggi dan semakin tinggi, akhirnya hilang dari pandangan mata. Rasakan terpaku Malimdiwa melihatnya dari bawah. Setelah itu mulailah berpikir Malimdiwa, apakah yang akan diperbuatnya. Mulailah makan terasa tak enak, tidur pun tak tenang, hingga demikianlah keadaannya setiap hari dan setiap malam. Di-renung-renungkannya amanah isterinya tadi itu. Kemudian pergilah ia kearah Timur, seperti yang dikatakan oleh isterinya itu. Ia berjalan, berjalan, dan berjalan terus. Di mana saja ia merasakan lelah, berhentilah ia sebentar, dan bila hari malam, menginaplah ia. Bila ia merasa lapar, makanlah ia, dan kemudian berjalan lagi. Ia berjalan itu seorang diri saja. Pada suatu hari, dalam perjalanannya itu, sampailah ia ke sebuah kampung. Di situ dilihatnya orang beramai-ramai sedang membakar sarang tabuhan. Ia menanyakan pada orang ramai itu mengapa mereka membakar sarang tabuhan itu. Dijawab oleh orang ramai itu bahwa tabuhan itu sangat jahat, suka menggigit anak-anak yang melewati tempat itu. Malimdiwa mengajak supaya orang itu tidak membakar sarang tabuhan itu lagi, sayang kita menyiksa binatang itu. Ia membayar sedikit pada orang ramai itu asal sarang tabuhan itu tidak diganggu. Mendengar ajakan Malimdiwa itu, pulanglah orang banyak itu. Setelah itu ia melanjutkan pula perjalanannya. Ia tidak menyadari bahwa tabuhan itu mengikuti perjalannya. Tabuhan itu terbang, kemana saja Malimdiwa itu pergi tetap diikutinya. Kiranya ingin ia akan membalas budi baik Malindiwa itu. Pada hari lainnya, sampailah ia. ke sebuah kampung yang lain. Disitu ia bertemu pula dengan sekumpulan orang yang sedang menembak tupai. Ada orang yang sedang melemparinya dengan kayu, ada yang sedang menjoloknya, dan ada pula yang berusaha membakarnya. Berbagai macamlah yang dilakukan mereka, sehingga riuh rendahlah suara mereka. Sangatlah tercengangnya Malimdiwa menyaksikan hal ini. Ia meminta penjelasan pada orang banyak itu alasan apakah yang menyebabkan mereka semua berusaha membunuh semua tupai itu. Kesalahan besar apakah yang dilakukannya hingga itu pembalasannya.

Orang ramai itu menceritakanlah bahwa tupai-tupai itu telah merusakkan kelapa mereka, dari muda hingga kelapa yang tua. Hal ini menyebabkan kelapa kami menjadi busuk semua. Kalau sudah demikian halnya, tidaklah ada gunanya lagi. Itulah alas an mengapa mereka menembak, membunuh mati semua tupai itu. Mendengar penjelasan itu, timbullah rasa kasihan Malimdiwa. Diajaknya pulalah semua orang itu untuk tidak membunuhnya lagi. Untuk orang ramai itu diberikannya uang banyak sekali, untuk pengganti rugi kelapa yang telah berlobang-lobang yang dilobangi oleh tupai-tupai itu. Orang ramai itu mau pula akan ajakan ini, dan merekapun menerima uang pemberian Malimdiwa itu. Setelah itu, Malimdiwa itu pun berjalan pula lagi. Juga tidak disadarinya bahwa tupai itupun mengikuti perjalanannya. Tupai itu melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain, sambal mengikuti terus perjalanan Malimdiwa itu. Agaknya ia akan membalas budi baiknya, hal itu tidaklah seorangpun yang tahu. Adapun tupai itu warnanya putih sekali, cantik, tidaklah serupa dengan tupai yang sering kita lihat sekarang ini. Tupai ini kemudian dinamakan tupai Malimdiwa. Kita tidak tahu dengan pasti apakah tupai jenis ini masih ada masa sekarang. Entah berapa lama ia berjalan, sampailah pula Malimdiwa itu ke sebuah negeri. Negeri ini ramai benar penduduknya. Ia berbicara sama sendirinya, barangkali inilah kerajaan yang dikatakan oleh isterinya dahulu itu, kerajaan tuan putri yang ada memiliki dan menyimpan baju terbang yang hendak dipinjamnya itu. Diikutinya cerita orang-orang yang ada di situ, memang benarlah di situ tempat tuan putri yang cantik sekali. Wajahnya sangat mengagumkan, rasanya tidaklah ada orang lain secantik putri itu. Mukanya licin dan berkilat, akan silaulah mata siapa saja yang melihatnya. Siapa saja yang menatap mukanya, dan bersamaan dengan itu tuan putri melihat pada orang itu tadi, akan silaulah matanya, akan tergelincir bila orang itu berjalan, dan akan jatuh. Demikianlah halnya tentang bercahayanya matanya itu. Diceritakan pula oleh orang banyak disitu, bahwa telah banyak anak raja yang mati karena berkeinginan akan mengawini tuan putri itu. Bagi ayahnya, raja itu, siapa saja yang ingin mengawini anaknya itu, dipersilahkannya, dan cobalah penuhi syaratnya. Yang susahnya ialah bahwa raja ini minta untuk dijadikan mahar anaknya adalah setangkai pinang emas yang harus diambil di batangnya. Adapun batang pinang itu tumbuh tepat di samping kamar tuan putri, anak raja itu. Menurut ceritera orang di situ sudahlah banyak yang mencoba, namun semuanya telah jatuh ketika sedang memanjatnya, silau karena dipandang oleh tuan putri yang matanya bercaha-ya itu. Siapa saja yang mencoba, bila telah sampai memanjatnya sejajar dengan jendela tuan putri itu, menjingau saja putri itu di situ. Apabila dilihat oleh tuan putri itu, karena sangat bercahaya matanya itu, silaulah mata siapa saja yang memanjat batang pinang itu, dan akibatnya jatuhlah terus ke bawah. Oleh karena tempat orang itu jatuh telah tinggi, bertumpukan jatuhnya dan matilah ia di situ, tidak ada harapan lagi, terkapar. Demikianlah keadaan setiap orang yang telah menguji untuk naik. Menurut keterangan orang disitu, telah sembilan puluh Sembilan anak raja yang malang seperti itu. mereka mati karena terjatuh ke bawah. Mendengar cerita-cerita orang di situ, susahlah Malimdiwa, timbul keragu-raguannya, namun ia ingin sekali untuk mencobanya. Dalam hatinya biarlah ia menjadi orang yang ke seratus. Diutusnyalah orang sebagai penghubung kepada raja, untuk menyatakan bahwa ia ingin meminang tuan putri itu. Ia ingin mencoba untuk naik, ingin memanjat pohon pinang itu, untuk mendapatkan pinang sebagai mahar dalam perkawinan dengan tuan putri itu. Alangkah senangnya raja menerima penghubung itu, ditambah pula oleh raja dilihatnya wajah Malimdiwa sangat cantik. Sungguh-sungguh senang dan besarlah hati raja itu. Rasanya mau saja ia memberikan anaknya itu kepada Malimdiwa begitu saja. Ditentukanlah hari yang baik untuk memanjat pohon itu. Dipanggilnya semua rakyatnya, baik yang besar maupun yang masih kecil, perempuan dan laki-laki, yang tua dan yang muda, semuanya berkumpul, mestilah keluar untuk menyaksikan Malimdiwa memanjat pinang raja itu. Setelah berkumpullah semua orang itu, pada hari itu ramailah di situ, semuanya merasa heran, mengapa pula Malimdiwa itu masih mau juga membunuh diri karena inginnya beristeri tuan putri itu. Mengapa pula ia mau juga memanjat pohon pinang itu. Agaknya samalah artinya datang mengantarkan nyawa ke situ. Sedangkan anak raja yang lain telah sembilan puluh Sembilan orang yang telah mati jatuh di situ. Ramailah orang memperkatakan hal Malimdiwa itu. Semua mereka tidak yakin bahwa Malimdiwa akan dapat sampai ke puncak pinang itu. Namun apa yang terjadi, terserahlah, pokoknya awak haruslah datang Begitu Malimdiwa sampai ke tempat tumbuhnya pohon pinang itu, sampai pula ke situ sejumlah tabuhan, berterbangan kian kemari di tempat itu. Kemudian tiba pula disitu tupai yang mengikutinya tadi, bertengger agak jauh dari tempat itu. Orang-orang yang ada di situ tak ada yang menghiraukannya, tak ada yang tahu, karena sedang asyik memandang Malimdiwa itu saja. Tak lama setelah itu, oleh raja disuruhlah Malimdiwa untuk memanjat pohon itu. Dengan tidak berpikir panjang lagi, Malimdiwa itu pun naiklah, dibetulkannya langkahnya, digulungnya kaki celananya, lalu dipanjatnyalah pohon pinang itu. Orang yang menonton menyaksikannya semua kaku menahan napas mereka, menyaksikan begitu cepatnya Malimdiwa memanjat. Setiba sejajar dengan jendela mahligai, tampaklah tuan putri duduk memperhatikan Malimdiwa, keluar ia menjingau. Dari jauh telah dilihat orang cahaya mata tuan putri itu berkilat-kilat. Dalam hati orang itu, akan terlihat Malimdiwa itu, hanya menantikan jatuh saja lagi. Banyaklah terdengar percakapan orang yang bukanbukan, seperti orang yang telah patah semangat saja layaknya. Begitu Malimdiwa tiba sejajar jendela itu tadi, berhenti pula ia di situ, melagak pula ia sejenak. Melihat itu semua orang yang melihat telah menjadi takut. Sebentar terdengarlah orang memekik melarang ia berhenti di situ, semuanya menyuruh supaya ia cepat naik saja terus.

Namun, oleh Malimdiwa makin menjadi-jadi gayanya. Ia terus saja berhenti di situ, sambil melihat-lihat ke kanan dan ke kiri, bahkan dilambainya pula orang yang di bawah. Melihat hal itu terpaksalah orang ramai itu bersorak memekik-mekik, walaupun mereka telah ketakutan semuanya. Mendengar orang semakin riuh itu, kian mendekatlah tuan putri itu kejendela ingin melihat sejelas-jelasnya, siapa sebenarnya Malimdiwa itu, dan bagaimana pulalah paras wajahnya. Pada saat yang sama pula, berkerumunlah tabuhan itu seakan- akan hendak menggigit muka tuan putri itu, penuh mereka sekelilingnya. Tabuhan itu tidak menggigit tuan putri, namun tuan putri ini sudah patah semangatnya dia pun tak dapat dilihatnya lagi ia terus memekik Semua orang dalam istana itu berdatangan meleraikan tuan putri dari serangan tabuhan itu. Pada kesempatan itu Malimdiwa memanjat terus, cepat-cepat ia naik terus ke puncak. Sambil ia naik, dilambai-lambainya jua tangannya pada orang yang di bawah. Semua orang bersorak kegirangan, karena belumlah pernah terjadi ada orang yang dapat naik melewati batas jendela raja itu, jendela tuan putri. Semua orang berdesak-desak ingin menyaksikan bagaimana akhirnya. Orang yang jauh tambah dekat, sedang yang dekat mendekat lebih dekat lagi. Setibanya di atas, belum sampai ke puncak, agaknya Malimdiwa itu merasa letih, dan tidak mampu akan naik lagi. Selagi ia bermenung meiepaskan lelah, tupai Malimdiwa itu pun memanjat pula dengan cepatnya. Barangkali maksudnya akan membalas budi baik Malimdiwa dahulu yang telah menyelamatkan nyawanya. Sekarang ia bermaksud akan mengambil buah pinang itu di puncak. Orang lain tak seorangpun yang tahu tupai itu naik ke puncak itu, karena perhatian mereka terpusat pada Malimdiwa saja. Adapun tupai itu terus saja naik ke puncak, dan digigitgigitnyalah tangkai pinang itu sedikit demi sedikit. Namun oleh karena pinang itu pinang emas, tidaklah mudah tergigit olehnya. Bahkan berdarah-darahlah giginya, namun tangkai pinang itu belumlah juga putus. Bila ia merasa letih menggigit, dan giginya telah berdarah turunlah ia pada Malimdiwa. Oleh Malimdiwa dimantrainyalah gigi tupai itu, dan rasanya mereka telah sebagai sahabat karib layaknya. Setelah dimanterai oleh Malimdiwa itu, naik pulalah lagi tupai itu, digigit-gigitnya pulalah kembali tangkai pinang itu. Demikianlah dilakukan tupai itu beberapa kali ia turun naik dari puncak ke tempat Malimdiwa itu duduk berhenti, dan sekian kali pulalah Malimdiwa memantrai gigi tupai yang telah berdarahitu. Oleh orang ramai di bawah, tidak jelas tampak apa yang sedang dikerjakan mereka ini, karena terlalu tinggi, yang Nampak hanyalah Malimdiwa yang duduk itu saja. Namun demikian semuanya ingin sekali melihat akan bagaimanakah akhirnya. apakah mungkin Malimdiwa itu dapat turun membawa pinang emas untuk jadi mahar perkawinan dengan tuan putri itu. Demikianlah keadaannya, selang beberapa lama, dapatlah tangkai pinang itu diputuskan oleh tupai tadi. Sangatlah senang hatinya, langsung dibawanya pada Malimdiwa, dengan demikian berbalaslah budi baik Malimdiwa padanya. Melihat hal ini, sangatlah girang hati Malimdiwa. Dalam hatinya, sudahlah kena sasarannya, sampailah hajat dan maksudnya. Turunlah ia perlahan-lahan. Semua orang yang melihat di bawah, tak dapat dikatakan lagi semuanya melompat-lompat, dilemparkannya kopiahnya tinggi-tinggi. Terdengarlah sorak orang itu, "sudah rezekimu, sudah rezekünu, betul kamu laki-laki, betul orang yang bertuah kamu". Aneka ragamlah perkataan orang, semuanya tercengang dan mempertanyakan, anak raja dari manakah orang itu, yang demikian beraninya. Yang lain mengatakan pula, "sukarlah mendapatkan orang seperti dia itu, barangkali dia bukanlah manusia, barangkali dia adalah malaikat, atau pun orang dari langit." Malimdiwa tadi, masuklah terus ke dalam istana mempersembahkan buah pinang itu. Alangkah gembiranya raja menerimanya. Dipeluknya Malimdiwa itu karena gembira dia. Malimdiwa disuruhnya duduk, disuguhkannya minuman dan makanan yang mahal-mahal harganya. Semua rakyat bersorak kegirangan, tidak ada yang mau pulang karena berkeinginan melihat dengan lebih jelas bagaimana rupanya Malimdiwa itu dari dekat. Kemudian diumumkanlah oleh raja, bahwa pesta perkawinan akan diadakan mulai esok harinya, karena tidak boleh dilalaikan lagi. Mendengar isi pengumuman itu, senanglah hati orang itu, karena akan diadakan sebuah peralatan perkawinan yang belum pernah terjadi akan sehebat itu di negeri itu. Lalu, pulanglah orang-orang itu semuanya, rengganglah suasana di istana. Malimdiwa pun setelah itu mohon diri untuk pulang ke tempatnya namun oleh raja dilarangnya Malimdiwa itu pulang, ditahannyalah di situ. Esok harinya diadakan peralatan yang besar itu, kerja besarlah mereka, maklumlah perkawinan anak raja, apalagi putri raja itu akan kawin dengan Malimdiwa pula. Disembelihlah kerbau, sapi, kambing, dan ayam, tidaklah terkira banyaknya. Para tamu berdatangan dari jauh-jauh, lengkap dengan bawaan mereka berupa kado, maklumlah seorang raja besar bermenantu.

        Alangkah gembiranya Malimdiwa itu. Besar hatinya bukan karena dapat mengawini putri raja itu saja, tapi dapatlah pula kelak meminjam baju terbangnya, untuk kemudian ia dapat terbang ke langit sana dan dapat bertemu dengan isteri dan anaknya yang sudah pergi itu. Apa yang sedang dipikirkan Malimdiwa ini seorangpun tak ada yang tahu. Adapun tuan putri ini duduklah bersanding dengan bangganya di dekat Malimdiwa, pura-pura tak ada seorang. Aduh, terlihat ia tersenyum-senyum, wajahnya pun cukup cantik, cocoklah nampaknya. Singkat cerita, senanglah kehidupan mereka itu suami isteri. Semua rakyat pun senang melihatnya. Bila hari petang, terlihatlah mereka berjalan-jalan berdua, entah ke mana saja mereka itu pergi, maksudnya pergi bersenang-senang. Setelah selang beberapa bulan keadaan mereka yang demikian, teringatlah lagi Malimdiwa pada isteri dan anaknya yang sudah terbang ke langit itu. Dipikirkannyalah bagaimana caranya ia dapat meminjam baju terbang milik isterinya itu.

Pada suatu malam, sambil tidur-tidur bersama isterinya, dimintanyalah pinjam baju terbang isterinya itu. Dikatakannya bahwa ia ingin sekali hendak terbang tinggi-tinggi, bahkan kalua mungkin biar sampai ke langit sana, ingin sekali ia hendak melihat langit itu, apalah yang ada di situ. Oleh isterinya itu, kiranya diizinkan pula. Ia tidak ragu-ragu sedikitpun, bahkan tidak pula ditanyakan kemanakah suaminya ingin sekali pergi, dan mengapa timbul keinginan itu. Maklumlah orang yang sangat sayang pada suaminya, tidaklah ia mau terhambat cita-cita suaminya itu. Ia berpikir, bila nanti suaminya popuier, akan berarti pula ia turut megah bersama. Karena itu, biarlah dia pergi, dia akan terbang dengan baju ini. Dengan demikian diberikannyalah baju itu pada suaminya. Setelah beberapa kali dicoba oleh Malimdiwa terbang rendahrendah dahulu, ia berhenti. Adalah kira-kira dua hari seperti itu. Tiap sudah terbang, ia turun pula, dilipatnya baju itu baikbaik, dan pergi pula lagi ia bersama isterinya itu berjalan-jalan. Pada hari yang ketiga mohon dirilah ia pada isterinya itu untuk terbang ke langit, Oleh isterinya diberikan doa restu. Terbanglah ia, sementara itu isterinya terus melambai-lambaikan tangannya. Ia terbang dan terbang terus makin lama-makin tinggi, lama-lama hilanglah dari batas pandangan isterinya itu. Setelah terbang sekian lamanya, sampailah Malimdiwa itu di langit. Ia berhenti di suatu tempat, menyamar-sebagai seorang tengku mengaji, wajahnya diubahnya menjadi wajah yang buruk supaya tidak dapat ditandai orang dilangit itu. Baju terbangnya itu dilipatnya baik-baik, disimpannya dibalai tempat tinggalnya itu. Badannya dibuat berkudisan, pendeknya tidaklah sedap untuk dilihat. Pada malam hari ia mengajar anak-anak mengaji, di antara sekian muridnya itu, terdapat pula anaknya itu. Pikirnya, sudah besar anakku ini. anak ini tidak mengetahui bahwa itu bapaknya. Ia tahu bahwa bapaknya ada di dunia menurut cerita ibunya, tapi cantik, tidak seperti tengku ini. Anak-anak itu diajar Malimdiwa mengaji, bernyanyi dan meniup seruling, sehingga semua anak-anak itu gembira sekali. Anak yang satu ini paling akrab dengan Malimdiwa, ia pun saying pula padanya, puaslah rindunya pada anaknya itu, walaupun isterinya belum bertemu. Pada suatu hari, anak ini mohon izin tidak mengaji untuk beberapa hari karena ibunya akan kawin. Dikatakannya bahwa bapaknya sudah lama tidak juga datang dari dunia, sehingga anaknya akan mengawinkan ibunya dengan orang lain. Malimdiwa mengizinkan anak ini, dan diberikannya sebentuk cincin pada anaknya ini. Gembiralah ia, lari ia terus pulang memperlihatkan cicin itu pada ibunya. Ibunya terharu, dikatakankannyalah bahwa cincin itu milik bapaknya Malimdiwa. "Segeralah kamu kembali, katakan saya sangat rindu padanya, nanti malam ketika hari senja segera datang dia ke rumah kita, supaya dapat kita terbang bersama kembali ke dunia. Kiranya sudah lama ia datang, namun mengapakah ia tiada terus kemari" kata ibunya itu. Berlarilah anaknya itu menemui tengkunya tadi menyampaikan pesan ibunya. Berpeluk-peluklah mereka, anak dan ayah. Ibunya pun bersiaplah. Akhirnya, malam itu datanglah Malimdiwa menjemput isterinya. Orang disitu sedang ramai akan pesta. Isterinya itu keluar perlahan-lahan dengan membawa baju terbangnya. Begitu bertemu orang itu, menangislah mereka kegirangan. Kemudian terbanglah mereka itu bertiga, sampai ke dunia kembali.

Diceritakanlah oleh Malimdiwa caranya mendapatkan baju terbang itu. Kalaulah tidak karena tupai itu, mungkin tidaklah akan bertemu mereka lagi, sebab, ia tak sanggup lagi naik sampai ke puncak ketika itu. Tupai itu tidak pernah terlihat lagi sekarang. Kata orang dahulu sering nampak, warnanya putih, cantik sekali, itulah yang namanya tupai Malimdiwa. Habislah cerita tupai Malimdiwa yang membalas jasa pada orang yang telah menyelamatkan nyawanya dahulu itu.

Komentar

Anonim mengatakan…
Mantap that hai rakan, terimong geunaseh atas block nyoe beuh

Popular

CERITA SI KUALI BESI | HiKAYAT ACEH

The Price of Freedom by Hasan Muhammad Tiro | Buku Aceh

Ilmu Ketuhanan by Aboebakar Atjeh | Buku Aceh

CERITA PEREMPUAN, SETANPUN JEMU | HiKAYAT ACEH

Sekapur Sirih

Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh | Buku Aceh

CERITA LENANG MULUD | HiKAYAT ACEH