CERITA PEREMPUAN, SETANPUN JEMU | HiKAYAT ACEH

 

Setahun ada dua belas bulan. Sebulan tiga puluh hari. Sehari dua belas jam dan satu Jumat itu tujuh hari. Hendaklah didengar wahai kawan, inilah cerita riwayat masa lalu. Riwayat dari negeri Arab. Alkisah di dalam negeri Madian, di kota Bantaian ada seorang yang bernama Nyak Amat (Cut Amat). Ia adalah seorang miskin, dan tinggal di sebuah dangau. Pencahariannya mencari kayu api setiap hari. Setelah berhasil, kayu itu dibawanya ke pasar. Ketika sampai di pasar dibelinya beras seperempat bakul, ikan setumpuk, cabai garam, rokok, serta sirih untuk keperluan sehari. Kehidupannya sehari-hari, hingga ia kira-kira sudah berumur dua puluh lima tahun, masih seperti itu saja. Tempat tinggalnya di sebuah pulau. Di pulau itu ada Kepala Desa. Kepala Desa itu bernama Keuchik Abdurrahman. Keuchik Abdurrahman itu rasanya tak sanggup memikirkan lagi peri hidup abang Cut Amat itu. Disuruhnya bersawah dia tidak mau. Disuruhnya bekerja sebagai buruh juga tidak mau. Dia hanya mencari kayu api untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pencahariannya itu saja tiap hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun lamanya.

Alkisah ada seorang perempuan. Perempuan itu bernama Cuda Beureuteh. Cuda Beureuteh itupun sangat sepadan. Tinggal nya di selasar rumah orang. Pekerjaannya hanya menembak asap. Bagaimanakah yang dimaksud dengan menembak asap itu?. Bila akan tiba waktu makan, berangkatlah cuda Beureuteh ke rumah orang untuk minta menumpang makan. "Anda ada di rumah?" "Ada, siapa itu, cuda Beureutéh?" " Y a . " "Hendak ke mana?" "Hendak mencari sirih sedikit." "O, kalau begitu silahkan ke rumah?" Ketika dia masuk ke rumah itu, yang punya sedang makan. Terpaksa dia diajak makan. Sesudah makan dimintanya sirih. Sesudah makan sirih, lalu pulang. Ketika pulang perutnya sudah kenyang, sirih pun sudah ada. Tembakau pun sudah tersugi di mulutnya.

Sesudah itu ia tidur dengan nyenyak. Ketika siang hari ia bangun. Ini sudah waktu makan. Sekarang aku pergi ke rumah kakak anu. Ke rumah cuda Fatimah. Cuda Fatimah itu seorang janda. Dia sedang masak, "Gruk-gruk," nyala api memanasi periuk nasinya. Beras yang ditanak hanya seperempat liter. "Anda ada di rumah?" "Siapa itu, Cuda Beureutéhkah itu?" " Y a . " "Hendak ke mana?" "Aduh, hendak mencari sirih sedikit." "O, ini silakan!" "Apakah anda sedang makan?" "Dengan apa lauknya?" "Asam belimbing digobek dengan udang." "Aduh, kepingin juga aku rasanya!" "O, dekatlah ke sini." Makanlah dia sekenyang-kenyangnya. Sesudah itu makan sirih. Sesudah makan sirih, mengobrol. Bicara tentang keadaan rumah ini dan itu. Itulah kerjanya. Sesudah puas berbicara lalu pulang. Kak Fatimah ketika cuda Beureutéh berbicara, dia asyik menganyam tikar, sedangkan cuda Beureutéh asyik bercerita tentang orang lain. Demikianlah pekerjaan cuda Beureuteh itu. Cuda Beureutéh tinggal di sebuah pulau. Di pulau itu ada seorang keuchik2), Hasballah. Keuchik Hasballah bila memikirkan hal cuda Beureuteh itu - hendak dikawinkan tidak ada orang suka, hendak disuruh bekerja dia tidak mampu apa-apa. Memasak tidak bisa, menganyam tikar tidak pandai, menganyam karung pun tak

sanggup. Yang sanggup hanya menembak asap. Dengan takdir Allah pada suatu hari di warung kopi, berjumpalah keuchik Abdurrahman dengan keuchik Hasballah.

"Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam." "Silakan masuk minum kopi!" "Aduh pak keuchik, baru saja saya minum kopi. Tapi karena bapak ajak saya, terpaksa saya minum juga." "O, baik sekali." Ia minta kopi dua cangkir. Sambil minum-minum keuchik Hasballah dan keuchik Abdurrahman saling bercerita. "Aduh keuchik Hasballah, aku paling jengkel kepada bang Cut Amat itu. Tapi rasa senangku pun ada."Bagaimana?" kata keuchik Hasballah. "Dia kusuruh gali tali air tidak mau. Kusuruh bersawah pun tidak mau. Kusuruh kawin juga tidak suka. Melainkan: ambil tali, ambil parang, ambil nasi dibungkus, lalu pergi ke gunung, mencari kayu api. Kemudian kayu itu dibawa ke pasar untuk dijual. Sesudah itu dibelinya beras setengah liter, seliter pun tidak akan dibelinya. Sesudah itu dibelinya ikan asin, cabe, garam dan rokok lalu pulang. Besok demikian lagi. Andai kata ia sakit selama satu jam, selama satu jam itu pula ia akan menderita kelaparan." "Aduh hai keuchik Abdurrahman, padaku juga ada. Padaku ada cuda Beureuteh seorang, pun seperti kata anda juga. Paling jengkel aku. Bila sudah pagi hari, rumah mana yang sedang menanak nasi ke situlah ia datangi. Makan nasi, makan sirih lalu cerita tentang orang lain. Susudah makan lalu pulang. Tidur. Ketika siang ia lapar lagi. Dia menembak asap. Di mana ada asap, ke rumah itu dia pergi. Sambil menunggu nasinya masak, duduk bicara-bicara.

Sesudah itu bila saatnya makan sudah tiba, tidak diajaknya makan rasanya tidak baik. Diajak, sedangkan untuk diri mereka sendiri nasi tidak cukup. Begitulah halnya selalu." "O hai keuchik Hasballah, begmi. Kita kawinkan orang itu berdua, boleh?" "O, kalau mereka mau, bagus sekali. Dari pada kita payah-payah biarlah ditampung oleh orang itu." "O, bagus!" Setelah dibayar harga minuman, keuchik Hasballah dan keuchik Abdurrahman pulang ke tempatnya masing-masing. Pada suatu hari keuchik Abdurrahman pergi ke rumah bang Cut Amat. "Bang Cut Amat!"

"Siapa." "Saya." "Pak keuchik?" " Y a . " "O, silakan masuk!"Baik. Hai bang Cut Amat, kedatangan saya ke sini hendak berbicara sepatah kata, boleh?" "O, boleh, tiga patah kata pun boleh." "Kalau begitu, begini, anda kulihat lelah benar. Waktu pagi: ambil tali, ambil parang, ambil nasi buntel lalu pergi ke gunung mencari kayu api. Ketika anda pulang nanti siang, anda melarat. Tidak ada yang memasak nasi. Sekarang aku cari orang yang akan menanak nasi anda, boleh?" "Mana ada orang yang mau dengan saya yang sangat miskin ini." "Hai, miskin sesama miskin. Tidak pernah sesama tidak pernah! Tua sesama tua!" "O, kalau begitu!" "Boleh, bukan!" "Boleh." "Kalau begitu aku cari penganten baro!"Boleh pak keuchik, sebarang yang anda tunjuk." Kemudian keuchik Abdurrahman segera berangkat ke tempat

keuchik Hasballah. "Assalamu'alaikum pak keuchik!"Wa alaikum salam, pak keuchik!" Kedua orang itu adalah keuchik. Dikatakanlah bahwa rencana dahulu sudah ada kesepakatan. "Sudahkah anda tanyai cuda Beureuteh?" "O, belum. Sudah lupa saya." "Anda melupakan janji, kiranya!" "Ayolah, mari kita pergi berdua!" Keuchik Abdurrahman dan keuchik Hasballah berangkatlah. Kedua-duanya langsung menuju ke dangau cuda Beureutéh. Sesampai di sana, mereka temui cuda Beureutéh sedang tidur lelap. Lalu dipanggil oleh keuchik Hasballah.

"Hai cuda, hai!"

"Siapa itu?"

"Saya."

"O, pak keuchik!" Silakan masuk! Aduh, tidak ada tempat duduknya. Tak usah duduk! Berjongkok saja! Sebab tikar pun tidak ada. Aku miskin benar." "Hai cuda, kalau miskin memang semua orang itu miskin. Tapi tidak semiskin seperti anda."

"Bagaimana tidak seperti saya? "Hai, orang lain yang miskin, barang sehelai tikar masih dipunyainya." Bukan tidak ada. Tapi tidak ada tempat untuk mengerjakannya!

Jika saya mengerjakan itu, tidak ada yang dimakan!" "Kalau begitu, begini ya."

"Maukah anda dikawinkan?" "Aduh pak keuchik, mana ada orang yang mau kawin dengan saya!" "Hai, misalnya kuberikan suami, tidakkah anda mau menerimanya?" "O, saya terima, baik sekali!" "Kalau begitu, dengan bang Cut Amat, mau?" "Belum berkenalan saya dengan Cut Amat i t u ! " "Itu, orang yang sering membawa kayu api ke pasar." "O, tidak mau dia, dia lebih muda dari saya." "O, saya bisa membujuk dia, asalkan anda mau." "O, mau saya kalau begitu." Sesudah itu dibawanyalah kedua orang itu kepada teungku imam. Sesudah itu dibawanya ke teungku Khatib. Dinikahkanlah orang itu. Hingga cuda Beureutéh sudah bersuamikan abang Cut Amat. Cuda Beureutéh tidak pulang lagi ke rumahnya, ia pulang ke dangau abang Cut Amat. Abang Cut Amat tadinya seorang diri. Tidur pun sendiri. Masak nasi juga sendiri. Mencari kayu api untuk kebutuhan sendiri. Tapi sekarang dia sudah senang. Pagi hari nasi sudah ada yang memasak. Sesudah makan dengan kenyang, lalumengambil nasi yang telah dibumgkus, tali dan parang, kemudian berangkatlah ke gunung. Dicarinya kayu api empat ikat. Dibawanya ke pasar. Setiba di pasar dibelinya beras setengah liter, asam belimbing, cabe dan garam. Dua kali banyaknya dari biasanya.

Demikianlah dia selalu, dari hari ke hari sampai ke Jum'at. Dari bulan sampai ke tahun, namun cuda Beureutéh lain dari yang disangkanya. Yang malas tetap malas. Ketika suaminya pulang dengan lelahnya, dan kayu api dicampakkan ke tanah, si isteri, heh, heh, di tempat tidur. Nasi ada, tapi ikan tak ada. Jangankan ikan, asam belimbing pun tak ada. Dikatakan kepada suaminya: "Mengapa tegak di situ! Mengapa tak naik ke rumah, makan nasi!" Bang Cut Amat naik bergegas-gegas. Ke mana perginya? Ke periuk nasi. Nasi itu sudah dijamah oleh kucing di pojok dapur. Isterinya terlena ketiduran. Abang Cut Amat mengambil nasi, disantapnya dengan garam. Dituangi air sebagai kuahnya, digobeknya asam belimbing dengan cabe lalu ditelan. Sedang ia mengunyah nasi, ia tersendat. Ketika ia sedang tersendat itu, berkatalah cuda Beureuteh, "Hai, aku tak sanggup bangun! Bangunlah sebentar, ambil tembakau untuk saya!" Dengan susah payah bang Cut Amat pun bangun kendatipun sedang makan - lelah pulang dari gunung mencari kayu api - bangun dari tempat duduk untuk mengambil dan menyerahkan tembakau kepada bininya. Sesudah makan siang diambilnya kayu api dibawa ke pasar. Setiba di pasar kayu itu dijualnya. Ia berbelanja seperti biasa juga. Keadaan hidupnya terus menerus begitu. Keadaan itu bahkan meningkat sampai ke tingkat menceboki bininya bila ia buang air besar atau buang air kecil. Sejauh itu sudah diperlakukan dia oleh isterinya.

Hingga abang Cut Amat jijik dan muak kepada cuda Beureuteh. "Ketika aku sendiri dahulu, apa yang kuinginkan tercapai. Baik kubikin sayur lemak maupun sambal terasi, dapat kumakan. Tapi sekarang tidak, hanya nasi semata-mata yang kumakan dengan air. Kalau begitu ke manakah kubawa si Beureuteh ini?" Akhirnya abang Cut Amat pada suatu hari mengambil nasi bungkusnya pergi ke gunung. Sesampai di sana, tidak mencari kayu api. Berpikir dan berpikir. "Ke mana kubawa si Beureuteh itu? Paling muak dan jijik aku sudah!" Ketika berjalan-jalan di dalam hutan bertemulah sebuah sumur tua. Sumur tua itu, sejak masa ter ciptanya dunia ini sudah ada. Masa Amirul Mukminin Hamzah menyerang musuh di bukitt Kaf, telah jatuh ke dalam sumur itu seorang jin Afret. Ketika jatuh di situ dia meronta-ronta. Tapi tak sanggup meiepaskan dirinya. Hingga akhirnya siang-malam jin itu berdoa kepada Tuhan: "Ya Tuhanku berilah agar jatuh seorang perempuan ke dalam sumur ini." Tidak dimintanya supaya dia dapat naik ke atas dan terlepas dari sumur itu untuk pulang kepada ibunya, tidak. Tangannya selalu dijangkaunya ke atas: "Berikan aku ya Tuhan seorang perempuan ke sini!" Itulah yang dimintanya selalu. Bertahun-tahun tetap jin Afret itu di sumur itu. Alkisah, bang Cut Amat. Ketika ia menjepguk ke dalam su-mur itu, aduh dalamnya bukan main. Kalau begitu, ya, si Beureutéh itu ke sini kulemparkan. Kesimpulan yang diambilnya itu sangat sesuai dengan kata hatinya. Ketika sampai ia pulang ke rumah ia berpura-pura resah dan gelisah. "Aduh ya Tuhanku, aduhai. Tuhan!" Kata cuda Beureutéh: "Mengapa anda gelisah? Kalau anda lapar, makan ke rumah!, manakah kayu yang anda bawa pulang?" "Hai, jangan ribut!"

"Mengapa? Jangan ribut? Aku dan kau ini siapa? Aku isterimu!"

" 0 , y a . "

"Jadi mengapa tidak boleh ribut-ribut?"

"Jangan ribut, nanti diketahui orang!" Aku pergi ke gunung tadi. tahukah kau ketika aku sampai di sana hendak memotong kayu, tidak ada lagi kayu di tempat biasa, jadi aku pindah sedikit mencari ke tempat lain. Sebelumnya aku tidak tahu pergi mencarinya ke situ. Ketika sampai ke situ kulihatlah sebuah sumur tua

yang paling dalam. Ketika kujenguk ke dalamnya kulihatlah emas berkilau-kilauan di dalamnya. Intan dan berlian yakut dan yakot tak terkatakan banyaknya. Sekarang aku akan mencari teman untuk mengambilnya. "Hai, hai!" Itu kata isterinya memanggil suami. "Ketika diberi rezeki oleh Tuhan, mencari teman. Pergi dengan

aku saja!" "O, jika kau mau, apa salahnya!" Jika demikian anda pergi! Besok pagi buntelkan nasi dua buntel untuk kita berdua ke sana!" "O, boleh!" "Aku pergi ke pasar membeli tali." Dibelinya tali sabut kelapa sepotong yang paling panjang dan agak besar sedikit supaya tidak mudah putus. Sesampai ke sumur tua itu, lalu ditunjukkan sumur itu kepada isterinya. "Ke sana di dalam sumur, jenguklah!" Ketika dijenguk oleh cuda Beureutéh, pada sangkanya benarbenarlah intan berlian, Yakut dan permata berkilau-kilauan. "Itu, maukah engkau turun?" "Kalau engkau tidak berani, aku yang turun!" Cuda Beureutéh diikat dengan tali oleh abang Cut Amat. Diturunkannya ke dalam sumur.

        Alkisah jin Afret, tangannya selalu menengadah ke atas. Me-minta siang malam kepada Tuhan supaya jatuh ke dalam sumur itu seorang perempuan. Dengan takdir-Nya - siang malam berpuluh-puluh tahun - dikabulkan permintaannya oleh Tuhan. Pada waktu itu cuda Beureutéh sedang diulurkan ke bawah oleh abang Cut Amat sedikit-demi sedikit dan perlahan-perlahan. Dalam pada itu cuda Beureuteh mengetahui pahanya ada yang pegang. Ketika dilihatnya oleh jin Afret seorang perempuan, alangkah gembiranya. Demikianlah, abang Cut Amat tadi, ketika mengetahui bahwa tali sudah kendur, larilah ia cepat-cepat pulang ke rumah. "Sudah

lepas. Sudah senang aku." Kemudian ia mencari nafkah seperti biasa lagi. Membeli beras seperti biasa ketika ia sendirian. Dia tidak memikirkan ini dan itu. Kekayaan tidak diingininya. Apa pun tidak diinginkan asalkan perutnya kenyang, sudah cukup.

Alkisah cuda Beureutéh dengan jin Afret di dalam sumur tua tadi. Bersenang-senanglah kedua makluk itu tak terkatakan betapa senangnya. Mereka berdua di sana, dari hari ke sehari berganti Jum'at. Dari Jum'at berganti bulan. Jin Afret mulai muak dan jijik kepada cuda Beureutéh seperti halnya abang Cut Amat dahulu. Menyugikan tembakau ke dalam mulutnya, menceboknya bila dak berhajat besar atau kecil, menyelimuti dan mengipasinya, jin itu muak sudah. Keperluan dengannya hanya sedikit saja. Tapi capeknya bukan rftain sudah. "Aduh, ke manakah jalan keluar, aku hendak kembali kepada ibuku!" Barulah jin itu sadar. Sebelumnya jin itu tidak teringat kepada ibunya. Sekarang baru teringat. "Wahai

Tuhan, lepaskan aku dari dalam gua ini!" Aku paling muak sudah kepada perempuan ini." Jin itu selalu gundah dan gelisah. mencari jalan supaya dapat naik ke atas. Alkisah abang Cut Amat. Pada suatu malam ia tidur. Dia berpikir dan mengelamun. Apakah yang dipikiri? "Dulunya meskipun diperlakukan sebagai budak oleh si Beureutéh, tapi kalau tidur bersamanya, enak. Aduh, barangkali dia sudah berobah. Biarlah dia kuambil lagi." Berangkatlah abang Cut Amat pergi mengambil isterinya. Hari itu dia tidak mencari kayu api. Ketika tiba ia di sumur tua itu tali masih terletak seperti dahulu di sana. Lalu diulurkannya tali itu ke bawah. Alkisah jin Afret tadi. Tangannya menggapai-gapai hendak naik ke atas. Dipegangnya onggokan ini tidak bisa ia naik dipegang nya onggokan itu pun tidak bisa. Dengan tiba-tiba terabalah tali. lalu berpeganglah ia sekuat-kuatnya. Ketika tali itu dipegang lalu dililitkan di tangannya kuat-kuat. Abang Cut Amat pun sudah merasa berat pegangannya. Seperti orang memancing ikan, ditariknya tali itu ke atas. Ketika tiba di atas, ternyata orang lelaki. Seluruh badannya berbulu. Matanya terbuka seperti jendela.

"Siapa nama anda?" Tanya jin Afret.

"Siapa kamu?" Tanya bang Cut Amat.

"Kau siapa?" Tanya jin Afret lagi.

"Inilah aku, Cut Amat!"

"Jangan berdiri lagi, jangan tegak lagi. Lari!" Kata jin Afret. Cut Amat lari. Ia di muka, jin Afret di belakang. "Jangan lari lagi! Tak sanggup aku lari!" Kata bang Cut Amat. "Lari sedikit lagi!" seru jin Afret. Abang Cut Amat tak sanggup lagi berlari, dan ia jatuh. Segera jin itu mendukungnya dan membawanya lari. Sesudah jauh bang

Cut Amat diturunkan dari dukungan jin Afret.

"Siapa namamu?"

"Nama saya abang Cut Amat."

"Anda siapa?"

"Nama saya jin Afret."

"Mengapa di gua itu?"

"Pada masa diperangi bukit Kaf oleh saidina Hamzah terpencarlah kami semua. Tahukah kamu, sekali dihantam oleh saidina Hamzah, mati seketika itu juga. "Apakah saidina Hamzah itu besar sekali tubuhnya?" "Serbannya hijau, menggenggam syamsi syauma, perisainya si geurebak, pedangnya berbunyi kham, kham, kham. Waktu ia berjalan langkahnya berbunyi u'ah, u'ah, u'ah. Tahi lalat di dahinya itu bersinar blai, blai, blai, blai. Seperti lampu senter tujuh mata."

"Hebat sekali saidina Hamzah?"

"O, bukannya hebat lagi. Dikenal dan tersohor. Lam dahut

ibnu Sakdan dan ibnu Sakyan di bawah kekuasaannya."

"Lalu?" "Aku sempat berlari, lalu aku jatuh sendirian ke sana." "Kemudian?" Tanya abang Cut Amat lagi. "Hai, kemudian datanglah anda mengangkatku," jawab jin

Afret. "Wahai bang Cut Amat! Sekarang kiranya apakah yang akan kuberikan anda sepagai pembalas jasa anda telah mengangkatku dari dalam gua itu." "Apa-apa yang anda sudi memberikannya," jawab bang Cut Amat. "Baiklah, kalau begitu, begini, anda kuberikan seorang wanita, mau?" "Ya, boleh!" Jawab bang Cut Amat. "Kalau mau, ya. Anda pergi dan ulurkan tali, ambil segera isteriku untuk anda," kata jin Afret. "Mengapa anda katakan begitu!" "Aku tak mau lagi perempuan itu. Sudah muak dan jijik aku." "Bagaimana dia?" "Disuruhnya aku menceboknya. Perempuan itu adalah perempuan yang akan kuberikan kepada anda." "Kalau begitu, mari kita lari!" Larilah orang itu berdua lagi. Lari dan lari. Sesudah itu lari lagi. Lari lagi dan menoleh ke belakang. "Apakah si Beureuteh itu sudah terlepas dari dalam sumur itu." "O, tidak." "Kalau tidak mari kita beristirahat. Beristirahat dan bercakap cakap." "He, sekarang kukatakan padamu bang Cut Amat, kubalas jasa kepadamu. Aku jin. Sekarang aku akan membalas jasamu." "Apa?" "Putri Ti Adwah, anak raja Tamse, sekarang bermain-main di taman bunga. Sudah seratus orang melamarnya tapi tak seorang pun dilayaninya. Seorang pun ia tak sudi. Sekarang aku pergi ke tempatnya bermain dan akan kusentakkan tali nyawanya. Sesudah itu siapa pun yang mendukuninya ia tidak akan sembuh. Di manapun dukun yang didatangkan oleh raja, dia tidak akan pulih tanpa didukuni oleh anda." "O, aku tidak bisa berdukun!" "He, biarkan tak bisa! Akan kuberi doanya." "Apa doanya?" "Yang dikatakan dalam sembahyang, itu! Pada orang mengaji, pada orangmu, apa yang dikatakannya?"

"O, bismillahir rahmanir rahim, ya?" "Entahlah!" "O, ada kudengar-dengar pada orang berdukun; bismillahirrahmanir rahim, diucapkan." "Itulah yang anda katakan, tapi katakan itu kepadaku. Sesudah itu katakanlah: Aku ini bang Cut Amat, ini aku abang Cut Amat! Lalu semburkan. Aku akan lari. Ambillah puteri itu untuk anda! Tapi dengan cukup syarat-syaratnya." "O, boleh kalau begitu." Abang Cut Amat kemudian mengelana dalam kota. Ia mencari nafkah hidupnya sehari-hari. Dia hanya sendirian.

Alkisah jin Afret segera menuju ke putri Ti Adwah, anak raja Tamse, yang sedang bermain-main di taman bunga. Empat puluh empat orang pengiringnya. Nyak Bulan purnama, dayang-dayang pertama sedang asyik benar bermain serta dayang yang empat puluh empat orang itu dan tuan-puteri seorang, jadi berjumlah empat puluh lima orang semuanya. Tiba-tiba sakit perut tuan puteri. Maka menangislah tuan putri di sana. Dayang-dayang yang empat puluh empat orang itu seorang bernama Meulu Peukan, lari segera kepada raja Tamse. "Ya tuanku yang mana mulia, puteri kami dan jantung hati tuan jatuh sakit di taman bunga." Kemudian dayangdayang yang empat puluh empat orang tadi membawa pulang tuan

puteri ke istana. Tetaplah tuan putri dalam keadaan sakit, menghempas- hempaskan dirinya siang malam karena kesakitan. Alkisah raja Tamse. Dicarinya dukun untuk menyembuhkan penyakit sawan, yang dapat menyembuhkan penyakit kemasukan saitan dalam tubuh. Tidak ada seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Lalu raja mengumumkan janjinya kepada khalayak ramai: "Barang siapa yang mengobati anakku hingga sembuh, orang itulah yang kujadikan suami putri Ti Adwah dan negeri ini kuserahkan sebahagian menjadi kekuasaannya." Demikianlah pengumuman raja. Sudah diumumkan kepada semua ahli nujum, kepada semua dukun. Kemudian berdatanganlah dukun ini dan dukun itu, lalu mendukuninya. Tapi tak ada yang dapat menyembuhkannya. Adapun orang yang datang itu, baik siapa saja kepadanya diberikan: uang jalan, uang penginapan, uang nyamuk. Diberikan pakaian selengkapnya, lalu pulang. Baik tuan putri itu sembuh atau tidak. Pada suatu hari berangkatlah abang Cut Amat. Sudah tiba waktunya. Dengan bajunya yang buruk dan badan yang kotor, iabertanya: "Dari mana anda pulang berbondong bondong itu?" "He, kami pulang dari anak raja. Anak raja kita sakit berat." "Bagaimana sakitnya?" "Siapa pun yang telah mendukuninya tidak ada yang berhasil menyembuhkan. Meskipun tidak sembuh, kita beruntung juga pergi kesana. Pakaiai. diberikan selengkapnya, makanan enak dapat kita nikmati bahkan uang pun diberikan." "Kalau sembuh?" "Kalau sembuh, tuan putri dikawinkan kepada kita dan negeri ini diberi sebahagian menjadi kekuasaan kita." Abang Cut Amat mengangkat langkahnya kesana. "Assalamu'alaikum!"

"Wa'alaikum salam."

"Anda dukun, ya?"

" Y a . "

"Silakan ke rumah!"

Siapa saja yang tiba di sana, baik atau buruk, biar tua ataupun muda, langsung naik ke rumah untuk mendukuni tuan putri. Alkisah, abang Cut Amat memulai pendukunannya. Setiba di sana memang perjanjian dengan raja telah dibuatnya lebih dahulu: Barang siapa yang dapat menyembuhkan tuan putri maka orang itulah yang akan menjadi suaminya putri Ti Adwah. Dalam pada itu abang Cut Amat meminta kemenyan kira-kira sebesar buah kelapa yang sudah dikupas kulitnya. Api harus disediakan dalam sebuah talam. Mulailah, diucapkan: "Bismillahir rahmanir rahim, bismillahirrahmanir rahim. Inilah aku abang Cut Amat, bang Cut Amat, bang Cut Amat, pr'oh. Bismillahir rahmanir rahim, inilah aku abang Cut Amat, bang Cut Amat, Cut Amat. bangcuamat, bangcuamat, pr'ooh," bangunlah jin itu, lalu menerjang dan berlari meninggalkan tubuh putri Ti Adwah. Ketika lari jin Afret itu, dicarinya wanita lain untuk dirinya sendiri, yaitu seorang putri raja: Bentigata bin Wariwarihon yang waktu itu sedang bennain-main di taman bunga. Alkisah bang Cut Amat. Tuan putri itu setelah tiga kali diembuskan angin kepadanya, sudah mampu duduk. Sudah dapat memanggil ibunya. Sudah dapat meminta makan. Untuk itu raja memenuhi perjanjiannya, yakni putri Ti Adwah dengan abang Cut Amat dikawinkannyalah.Pada malan penganten baru bang Cut Amat didudukkan di pelaminan singgasana raja, yakni tempat du-duk raja bertahta. Di sanalah ia duduk, dihidangi makanan yang lezat- lezat. Bang Cut Amat makan terus, tidak peduli apa-apa. Apa saja yang disajikan tandas tuntas semuanya. Belum pernah dinikmati seumur hidupnya. Akhirnya apa yang terjadi pada malamnya di tempat tidur. Kira-kira jam sepuluh malam, bang Cut Amat sakit perut karena terlalu kenyang dan kemudian tanpa disadari membuang kotoran. Tinjanya itu mengalir hampir seluruh tempat tidur, hingga tuan putri disampingnya kebagian kotorannya itu. Baunya bukan main tajam busuknya, tapi tuan putri tidak ribut atau mengomel tentang hal itu. Dia berpendapat bahwa abang Cut Amat itu adalah suaminya di dunia dan di akhirat, karena dialah yang telah berjasa mengobatinya. Tinja itu dicucinya dengan sabar. Akhirnya mereka hidup aman dan tentram. Tak terkatakan senangnya, bang Cut Amat kemudian menjadi raja, sungguhpun dia orang yang tak tahu apa-apa, bodoh.

Konon Bentigata bin Wariwarihon putri raja Istafam, jatuh sakit. Raja Tamse dan raja Istifam adalah adik abang, keduanya bersaudara kandung. Tak ada orang yang dapat mengobati putri yang sakit tadi, seperti halnya putri Ti Adwah dalam cerita di atas. Siapa pun yang mendukuninya tidak ada yang mampu menyembuhkan. Memang putri itu hendak diperistri oleh jin Afret tadi. Pada waktu itu, bermusyawarahlah raja dengan permaisurinya. "Wahai, andaipun begitu pergilah menjemput raja Cut Amat itu supaya anak kita didukuninya. Kalau bukan dia yang mendukuninya, penyakitnya tak akan sembuh. Biarlah suami adik diambil oleh kakaknya!" Berangkatlah raja ke tempat adiknya. " D i k . " "Saya, bang."

"Begini, raja Amat hendak kusuruh mendukuni si Dara. Dia ti

dak sembuh kalau bukan dia yang mendukuninya."

"Jadi bagaimana janjinya?"

"Kalau sembuh boleh dikawini."

"Bagaimana ini, adik untuk dia, kakaknya pun untuk dia.

Apa dibolehkan hal seperti ini di dalam agama?"

"Asalkan sah nikah, apa salahnya!"

Berangkatlah abang Cut Amat bersama raja. Setibanya di sana dia dinobatkan pada Batu Sakda, tempat raja bertahta. Dia adalah menantunya, tambahan lagi dia raja pula. Abang Cut Amat mulai mengobati sang putri, seperti halnya mendukuni putri raja yang dahulu. Diambilnya kemenyan sebesar kelapa lalu dibakarnya serta diucapkan: "Bismillahir rahmanir rahim, inilah aku abang Cut Amat, inilah aku abang Cut Amat, pro'oh," sambil ia meniup. Seketika itu juga putri yang sakit itu berdiri. Putri Bentigata bin Wariwarihon yang sudah disurupi jin Afret tadi berkata: "He, tidak cukup yang sudah kuberikan seorang? Tahukan kamu lehermu akan kupatahkan." "He, aku bukan untuk itu datang ke sini! Bukan aku hendak merebut itu! "jawab abang Cut Amat. Mujur abang Cut Amat ada akalnya sedikit dan berkata: "He, aku pergi ini, tahukah anda? Si Beureuteh itu sudah terlepas dari

sumur!" Mendengar ucapan itu jin Afret pun larilah. Alkisah putri Bentigata bin Wariwarihon, tak lama kemudian sehat. Sesudah ia sehat senanglah hati abang Cut Amat. Sudah dua orang putri yang sembuh diobatinya. Ia tetap sebagai raja, adik dan kakak jadi permaisurinya. Dia tetap memerintah dua kerajaan.


Komentar

Anonim mengatakan…
Cerita jih kok pake bahsa indo.n?

Popular

CERITA SI KUALI BESI | HiKAYAT ACEH

CERITA TUPAI MALIMDIWA | HiKAYAT ACEH

The Price of Freedom by Hasan Muhammad Tiro | Buku Aceh

Ilmu Ketuhanan by Aboebakar Atjeh | Buku Aceh

Sekapur Sirih

Hamzah Fansuri Penyair Sufi Aceh | Buku Aceh

CERITA LENANG MULUD | HiKAYAT ACEH